Singapura menjadi negeri yang seringkali memicu langkah provokasi. Pembangunan jambatan baru yang disusul bergelegarnya pesawat terbang tanpa pilot, mengingatkan sejarah hitam bagaimana negeri ini terbentuk. Apa yang hendak dibangun negara duplikat Israel tersebut?
Tahun 1960-an, tampaknya menjadi tahun-tahun yang penting di Asia Tenggara. Di Indonesia, pada tahun 1965, gejolak pemberontakan PKI terjadi. Di Malaysia sendiri, tahun 1969, terjadi kerusuhan rasial yang cukup tajam terukir dalam sejarah. Bahkan sebelumnya, pada periode tahun ini pula Singapura terpisah dari wilayah Malaysia.
Dan sebagai negara baru yang masih sangat muda, ada langkah-langkah drastis yang harus diambil oleh Perdana Menteri pertama sekaligus founding father Singapura. Dalam penuturannya,[1] Lee Kuan Yew mengatakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi konsentrasinya pada awal-awal berdiri Singapura.
Pertama, tentu adalah berusaha mendapatkan pengakuan internasional atas lahirnya negara baru ini. Dan untuk membantunya mengatasi masalah yang satu ini ia memilih Sinnathamby Rajaratnam menjadi Menteri Luar Negeri, seorang yang disebut Lee Kuan Yew sebagai seorang yang anti penjajahan tapi bukan seorang yang radikal. Rajaratnam pula yang menyiapkan segala kebutuhan untuk hajatan bulan September 1965, di markas PBB di New York, sebuah presentasi negara baru.
Hal kedua terbesar yang menjadi perhatian Lee Kuan Yew adalah masalah keamanan dan pertahanan. Pada awalnya ia hanya memiliki dua batalion pasukan, itupun berada dalam komando seorang Brigadir Malaysia, Brigadir Syed Mohammed bin Syed Alsagoff yang menurut Lee seorang Arab Muslim berkumis yang siap setiap saat mengambil alih negara Singapura. Ia harus menyiapkan angkatan bersenjata dan sistem pertahanan dalam waktu dekat, untuk menghadapi kelompok-kelompok radikal, terutama beberapa pihak di Malaysia yang tak setuju dengan kemerdekaan Singapura.
Untuk mengatasi masalah pertahanannya, pada awalnya, Singapura meminta bantuan dan menghubungi Mesir untuk menyiapkan angkatan bersenjata. Tapi, Mesir tak segera memberikan jawaban yang pasti, padahal kebutuhan demikian mendesak untuk diselesaikan. Tapi sebenarnya, sebelum memisahkan diri dari Malaysia, Israel telah menjalin hubungan dengan benih-benih founding fathers Singapura. Mordechai Kidron, Duta Besar Israel di Bangkok sejak tahun 1962 sampai 1963 telah mencoba untuk mendekati Lee Kuan Yew dan menawarkan jasa untuk menyiapkan pasukan bersenjata. Tapi saat ini, Lee Kuan Yew menolaknya dengan beberapa alasan, salah satunya adalah pertimbangan Tunku Abdul Rahman dan masyarakat Muslim di wilayah Singapura yang kemungkinan tidak akan setuju. Dan menurut Lee, jika dilakukan hal tersebut bisa memancing kerusuhan yang tidak terkendali dan merugikan bagi rencana kemerdekaan Singapura.
Tapi akhirnya, Lee melirik tawaran ini. Tapi di saat yang sama, Lee Kuan Yew juga mengirim dan menunggu jawaban dari India dan Mesir. Ia mengirim surat ke Perdana Menteri India, Lal Bahadur Shastri dan Presiden Mesir, Gamal Abdul Nasser. Dari Mesir Lee Kuan Yew mendapat jawaban, bahwa Nasser menerima dan mengakui kemerdekaan negara Singapura, tapi tidak memberikan jawaban pasti atas permintaan bantuan militer. Dan itu memicu kekecewaan Lee Kuan Yew yang langsung memerintahkan proses proposal Israel untuk menyiapkan militer Singapura. Tokoh lain yang berpengaruh dalam hubungan Singapura-Israel adalah Goh Keng Swee. Lee Kuan Yew memerintahkan Keng Swee untuk mengubungi Mordechai Kidron, duta besar Israel yang berkedudukan di Bangkok pada tanggal 9 September 1965, hanya beberapa bulan setelah pemisahan Singapura dari Malaysia. Dan hanya dalam beberapa hari, Kidron telah terbang ke Singapura untuk menyiapkan keperluannya bersama Hezi Carmel seorang tokoh Mossad, Badan Intelijen Israel. Bertahun-tahun kemudian Hezi Carmel dalam sebuah wawancara[2] mengatakan bahwa Goh Keeng Swee berujar kepadanya hanya Israel sajalah yang bisa membantu Singapura. Israel adalah negara kecil yang dikepung oleh negara-negara Muslim di Timur Tengah, tapi memiliki kekuatan militer yang kecil tapi kuat dan dinamik. Bersama Keng Swee, Kidron dan Hezi menghadap Lee Kuan Yew.
Proposal Israel yang telah diajukan sejak tahun 1960, adalah sebuah hasil dari kajian mendalam tentang masa depan Singapura dan percaturan politik di Asia Tenggara. Bukan Singapura yang aktif untuk meminta Israel masuk, tapi Israel lah yang pertama kali menawarkan diri agar bisa terlibat secara aktif di wilayah Asia Tenggara. Tentu saja ini bukan semata-mata kebetulan, tapi berdasarkan perencanaan yang matang dari gerakan Zionisme internasional. Menempatkan diri bersama Singapura, sama artinya menjadi satelit Israel dan kekuatan Yahudi di Asia Tenggara.
November 1965, tim kecil dari Israel yang dikomandani Kolonel Jak (Yaakov) Ellazari tiba di Singapura (kelak ia dipromosikan pangkatnya menjadi Brigadir Jenderal, bahkan setelah pensiun pun ia menjadi salah satu konsultan senior untuk masalah-masalah pertahanan dan keamanan bagi Singapura). Tim susulan yang lebih besar lagi datang pada bulan Desember 1965. Mereka menggunakan kata sandi The Mexicans untuk proyek membantu Singapura ini.
Kedatangan tim The Mexicans ini seboleh mungkin dirahasiakan dari sorotan publik. Maklum, Singapura adalah negara muda yang dikeliling negara-negara Muslim seperti Indonesia, Malaysia, dan juga Thailand. Lee Kuan Yew juga tidak ingin menimbulkan perdebatan di antara penduduk Singapura yang Muslim.
Pada saat yang sama, Israel sendiri telah menyiapkan bantuan militernya langsung ke Singapura berdasarkan oder dari Kidron dan Hezi Carmel. Tokoh-tokoh penting Israel yang turun berperan mengambil keputusan pembangunan militer Singapura ini adalah Yitzhak Rabin, kepala staff pemerintahan Israel kala itu, Ezer Weizmann dan juga Mayor Jenderal Rehavam Ze’evi, yang kelak menjadi menteri perumahan Israel dan tewas karena serangan Hamas pada tahun 2001.
Ze’evi sendiri yang menjadi pimpinan proyek dan terbang ke Singapura dengan nama samaran Gandhi. Rehavam Ze’evi yang telah menggunakan nama Gandhi berjanji akan membangun kekuatan militer Israel sebagai kekuatan militer yang belum pernah ada di wilayah Asia Tenggara. Dengan dibantu oleh Ellazari dan Letnan Kolonel Yehuda Golan, Ze’evi mulai bekerja. Salah satu yang dibangun dengan serius adalah buku panduan yang diberi nama Brown Book atau Buku Cokelat. Buku panduan militer Singapura yang benar-benar blue print dari Israel.
Buku Cokelat adalah buku panduan untuk perang langsung atau combat. Setelah buku ini selesai, buku panduan lanjutan digarap pula dengan nama sandi Buku Biru atau Blue Book yang mengatur segala macam strategi pertahanan dan gerakan intelijen. Buku Cokelat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan segera dikirim ke Singapura dari Israel.
Tanggal 24 Desember 1965, enam orang perwira Israel tiba di Singapura. Mereka mengemban dua tugas yang berbeda. Tim perwira pertama bertugas untuk membangun dan set up kementerian pertahanan Singapura, ini dipimpin oleh Kolonel Ellazari. Dan tim kedua, yang dipimpin oleh Yehuda Golan bertugas untuk menyiapkan pasukan bersenjata. Persiapan pasukan bersenjata ini pada mulanya merekrut 40 sampai 50 orang yang telah memiliki pengalaman di bidang militer untuk ditraining lebih lanjut.
Tapi kini, kekuatan yang berasal dari 40 – 50 orang yang dibangun oleh Israel itu telah menjelma menjadi kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara. Anggaran military budget Singapura itu 4,4 milyar dolar US. Jauh sekali dibanding dengan Indonesia dan juga Malaysia. Mereka juga punya industri militernya sendiri. Singapura sudah bisa membuat sendiri mulai dari senjata ringan, mesin hingga artileri, mereka sudah mampu membuat sendiri.
Angkatan bersenjata Singapura, keseluruhan, berjumlah 60.500 pasukan. Jauh di bawah Indonesia juga Malaysia. Jumlah itu sudah termasuk 39.800 wajib militer dengan masa dinas 24 sampai 30 bulan. Tapi mereka juga pasukan cadangan berjumlah 213.800. Jadi seluruh penduduk dan populasi Singapura. Dengan seperti itu, Singapura bisa dilihat sebagai negaa yang benar-benar telah menjalankan total defense war. Mereka punya wajib militer untuk seluruh penduduk yang setiap saat semua warga negara Singapura bisa dimobilisasi dan dipersenjatai untuk berperang.
Setiap penduduk Singapura itu sudah memiliki registrasi militer dan juga kepangkatannya. Ketika terjadi ancaman atau serangan, maka mereka per bandar atau per wilayah sudah bisa langsung melapor dan bergabung pada markas-markas yang sudah ditentukan. Orang-orang yang kita pandang sipil itu tahu pangkat mereka apa, berapa anaknya buahnya dan tugasnya apa. Bahkan senjatanya pun sudah disiapkan di masing-masing markas. Ini benar-benar seperti konsep Israel, bahwa semua penduduk dewasa adalah tentara. Sipil yang militer. Bukan militer yang membangun supremasi di atas sipil.
Angakatan Darat mereka 50.000 pasukan, tidak terlalu banyak. Angkatan Laut 4.500 dan Angakat Udara 6.000. Tapi yang menarik adalah, Singapura memiliki Forces Abroad, pasukan-pasukan yang ditempatkan di luar negeri. Bukan pasukan untuk misi internasional, tapi pasukan Singapura sendiri, kebanyakan adalah Angkatan Udara.
Singapura menempatkan pasukannya di Prancis, Australia, Brunei, Afrika Selatan, Taiwan, Thailand dan Amerika. Itu semua terdiri dari pesawat tempur, pesawat pengintai tanpa awak sampai pesawat pengisi bahan bakar di udara yang kebanyakan di parkir di Amerika. Untuk melakukan serangan pre-emptive strike, Singapura hanya perlu waktu kurang dari 30 menit saja.
Didikan Israel yang sangat disiplin memang menghasilkan kekuatan yang bukan main. Salah satu disiplin yang mereka diterapkan Israel pada para kadet Singapura adalah bangun pukul 5.30 untuk memulai aktivitasnya. Bahkan salah seorang kadet pernah membantah dan memberikan alasan kepada kolonel Golan dengan mengatakan, “Kolonel Golan, orang-orang Arab tidak ada di sini dan tidak akan menduduki kepala kita. Mengapa kita melakukan latihan segila ini?”[3]
Dan menjawab komplain para kadet itu, Goh Keng Swee memerintahkan para kadet itu untuk melakukan apa yang diperintahkan Kolonel Golan, jika tidak, mereka akan melakukannya lebih berat lagi. Hanya dalam setahun, latihan yang dibangun oleh Israel ini telah menghasilkan 200 komandan militer yang terlatih.
Selain kekuatan militer darat, Israel juga merancang strategi combating water bagi Singapura. Pada awalnya, mereka membuat sebuah sampan yang mampu mengangkut 10 sampai 15 anggota pasukan untuk patroli laut bahkan ke rawa-rawa. Kekuatan tempur laut yang dibangun oleh Israel memang disiapkan untuk menghadapi negara-negara maritim seperti Indonesia dan Malaysia.
Singapura menyimpan kejutan tersendiri tentang perkembangan militernya ini. Pada peringatan kemerdekaan, 9 Agustus 1969, dalam parade militer para undangan dikejutkan dengan pameran kekuatan Singapura. Termasuk Menteri Pertahanan Malaysia yang diundang untuk menyaksikan 30 tank buatan Israel yang berparade merayap di jalanan. “Sungguh moment yang dramatis,” ujar Lee mengenang saat itu.
Dan sejak itu pula, terbuka secara umum hubungan Israel dan Singapura. Dan setelah itu berikutnya adalah balas jasa yang harus diberikan Singapura pada Israel. Pada sidang umum PBB tahun 1967, negara-negara Arab mensponsori resolusi untuk menveto Israel. Tapi delegasi Singapura yang hadir pada waktu itu menyatakan diri abstain sebagai tanda satu barisan dengan Israel. Selanjutnya, pada tahun Oktober 1968, Lee Kuan Yew menyetujui pembukaan perwakilan dagang Israel di negara tersebut. Setahun berikutnya, secara resmi tahun Mei 1969, Lee memberikan izin pada Israel untuk membuka kedutaannya di Singapura.
Kekuatan militer Singapura ini terus meningkat dengan tajam. Pada sidang parlemen Singapura tahun 1999 terkuak sebuah informasi, bahwa negara ini menghabiskan sekitar 7,27 milyar dolar dalam setahun, atau sekitar 25% dari anggaran belanja negara untuk alokasi pertahanan. Dan pada tahun 2000, menurut laporan Asian Defense Journal, tak kurang Singapura memiliki empat F-16B, 10 F-16D fighters, 36 F-5C fighters, dan delapan F-5T fighters.
Bahkan saking unggulnya kekuatan Singapura yang dibangun oleh Israel ini, sampai-sampai Lee Kuan Yew membanggakan militernya jauh lebih efektif dari militer Amerika. Soal keamanan, menurut Lee Kuan Yew, Israel jauh lebih efektif dan hebat dibanding Amerika. Lee membandingkan kerja Israel di Singapura dan kerja Amerika di Vietnam. Pada Perang Vietnam Amerika tak kurang mengirimkan 3.000 sampai 6.000 ahli militernya ke Vietnam Selatan untuk membantu Presiden Ngo Dinh Diem yang menjadi kaki tangannya Paman Sam. Hasilnya? Amerika dan kaki tangannya tetap tak bisa menang di Vietnam. Tapi dengan Singapura, Israel hanya mengirimkan sekitar 18 perwira-perwiranya untuk membangun angkatan bersenjata negara muda ini begitu kuat.
Sejak saat itu berbagai kerjasama dalam jumlah besar tak hanya dalam bidang militer dan pertahanan, tapi juga ekonomi dan politik telah terjadi antara Israel dang Singapura. Dan tentu saja, pada tataran ekonomi dan politik, kekuatan Israel di Singapura telah pula merangsek negara-negara Muslim seperti Malaysia, Brunei dan Indonesia.
Tahun 2000 lalu, Israel, Singapura yang difasilitasi oleh Amerika Serikat meneken kontrak kerjasama dalam bidang satelit mata-mata senilai satu milyar dolar Amerika. Bisa jadi, tak sejengkal pun wilayah, khususnya area-area Muslim di Asia Tenggara lolos dari perhatian Israel.
Atas nasihat Israel pula kini Singapura punya interest yang kuat dalam perdagangan dan kerjasama yang dibentuknya untuk empat hal. Empat hal tersebut adalah di bidang Komando, Kontrol, Komunikasi dan Intelijen. Dan kini, lewat doktrin ini pula Singapura tak melepaskan kesempatan emas untuk membeli Indosat dari Indonesia dan juga perusahaan telekomunikasi Thailand.
Akankah Singapura dengan Israel di belakangnya kelak menjadi ancaman bagi negara-negara Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei, Filipina dan Thailand yang notabene bisa disebut representasi negara Muslim? Jika kelak terbukti Singapura adalah ancaman, sesungguhnya tak mengherankan, sebab kini banyak signal dan indikasi yang menyebutkan.
***///********************************\\\***
Singapura pada zaman Singasari kita sebut sebagai Tumasik. Sebuah negara nir sumber daya alam dan kekayaan bumi. Mula dirintis oleh Sir Thomas Stamford Raffles pada awal abad 19, tepatnya 1819. Raffles tahu, secara geografis Tumasik menjadi perlintasan dagang internasional. Dan ia mulai menyewanya dari seorang pangeran Melayu.
Tahun berjalan, zaman berganti. Pada tahun 1942 tentang Dai Nippon mengalahkan sekutu di beberapa wilayah Asia, termasuk Indonesia, Malaysia, Kalimantan Utara (kini Brunei, red). Jepang masuk ke Singapura pada 12 April 1942 dan mengganti namanya dengan Syonan, yang artinya Cahaya dari Selatan. Penamaan ini berkaitan pula dengan posisi strategis yang dimiliki Singapura. Tapi Jepang tak lama memegang kemenangan yang telah diraihnya.
Setelah direbut kembali oleh Inggris, Singapura menjadi sebuah pulau tambang uang untuk melunasi hutang-hutang Inggris. Tak hanya Singapura tepatnya, Malaysia dan Brunei pun terkeruk juga untuk melunasi utang yang diakibatkan perjanjian Lend and Lease Act, perjanjian pembayaran sewa alat-alat perang pada Amerika. Tentang hal itu bisa dibaca di buku The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia 1945 – 1965 karya Greg Poulgrain.
Roda zaman terus bergulir dan Singapura pun menjadi negara mandiri setelah melepaskan diri dengan Malaysia pada tahun 1965. Negara yang hanya memiliki garis pantai 150.5 kilo meter ini pelan tapi pasti menjadi negara yang berbeda dengan negara-negara di Asia Tenggara umumnya. Baik secara demografis, maupun sejara finansial. Secara demografis, etnis Cina menjadi mayoritas di negara ini dengan jumlah kurang lebih 75 persen dari total penduduk 3 juta. Sisanya 25 persen dibagi-bagi beberapa etnis, Melayu, Tamil dan juga India.
Secara finansial, karena tidak memiliki sumber daya alam satu pun, orientasi ekonomi Singapura sejak awal mengarah pada industri jasa. Profit oriented inilah yang membuat Singapura membuka dirinya bagi siapa saja, yang ingin menanamkan modal dan bekerjasama. Termasuk Israel dan Amerika.
Singapura menjadikan Israel sebagai negara model yang akan ia tiru dalam bidang keamanan dan pertahanan. Dan Switzerland sebagai model di bidang kemajuan ekonomi. Singapura dan Israel nyaris sama dalam masalah keamanan. Israel adalah negara kecil (merebut tanah dan berusaha menjadi negara tepatnya) di tengah-tengah komunitas Arab Timur Tengah. Israel adalah masyarakat Yahudi yang dikepung orang-orang Arab. Sedangkan Singapura merasa dirinya begitu pula, negara kecil dengan mayoritas etnis Cina yang hidup di kawasan Asia Tenggara dengan etnis mayoritas Melayu Muslim pula.
Di poin terakhir inilah (tentang mayoritas Muslim Melayu), kepentingan Israel, Amerika dan Singapura bertemu, melakukan simbiosis mutualisme.
Sebetulnya tak ada yang salah jika Singapura mengeruk keuntungan dari kerjasamanya dengan Israel dan Amerika. Memang tak ada yang salah, selama proses dan pencapaian tidak mengorbankan, melindas, melibas dan melakukan intrik politik yang tidak sehat. Tapi dalam kasus ini tampaknya memang ada yang salah. Dalam masa-masa kemerdekaan Indonesia, nama Singapura bukan barang baru dalam kosakata intelijen internasional, terutama intelijen Amerika dan Inggris. Lewat Singapura beberapa rencana menghalangi Indonesia merdeka pernah dirilis oleh Kerajaan Inggris.
Dalam sebuah buku yang terbit di London, pada tahun 1961 yang berjudul Rebels in Paradise: Indonesia Civil War, James Mossman menuliskan, “Bukan rahasia lagi bahwa Inggris dan Amerika Serikat selalu berhubungan dengan kaum pemberontak. Inggris melakukan kontak lewat agennya di Singapura dan Malaysia, dan Amerika lewat Formosa dan Manila.”[4]
Dalam buku The Genesis of Malaysia Konfrontasi: Brunei and Indonesia 1945 – 1965 karya Greg Poulgrain Anda akan menemui banyak data. Inggris tak mau kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia menginspirasi negara-negara jajahannya yang berbatasan langsung dengan Indonesia seperti Malaysia dan Brunei. Karena tak rela kehilangan tambang uang inilah Inggris melakukan beberapa provokasi langsung di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Riau. Pada tahun 1964 saja tercatat 213 provokasi yang dilancarkan pihak Inggris di beberapa wilayah tersebut di atas.
Tentang keterlibatan Singapura, Audrey R. Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversion as Foreign Policy. The Secret Eisenhower and Dulles Debacle in Indonesia[5] menyebut Singapura sebagai sentral kendali di Asia Tenggara. “Singapura juga salah satu pusat pengendalian kekuasaan regional baik dengan intelijen maupun dengan pemasokan senjata dan serdadu.”
Konstalasi foreign relation yang semula Inggris, Amerika, dan Singapura kini sudah berganti. Amerika, Israel dan Singapura adalah formasi terbaru. Maka tak berlebihan jika Singapura disebut satelit, bahkan kepanjangan tangan Israel di Asia Tenggara.
Maka jika kita dapati rencana pembangunan jambatan baru yang menghubungkan Malaysia-Singapura lebih banyak menguntungkan Singapura, itu bukan lain termasuk dari strategi yang telah dirancang jauh-jauh hari. Dan lewat kisah di atas, kita semua tahu darimana Singapura mendapatkan rancangannya dalam strategi pertahanan, baik militer, politik dan juga ekonomi. Dan Malaysia, sebagai negeri Muslim yang besar, harus senantiasa waspada dengan semua rencana Singapura. Sebab, kepentingan Israel selalu berdiri di belakang negeri kecil ini. Waspadalah!
Herry NurdiIndonesian Muslim Journalist
[1] Memoirs of Lee Kuan Yew, From Third World to First. The Singapore Story: 1965-2001. Singapore Press Holdings, 2000
[2] Amnon Barzilai, A Deep, Dark, Secret Love Affair. Ha’aretz
[3] Ibid
[4] James Mossman, Rebels in Paradise: Indonesia Civil War. London, 1961
[5] Diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul: Subversi Sebagai Politik Luar Negeri. Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia. Pustaka Utama Grafiti, 1997
Dipetik dari: http://aziziabdullah.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment