Wajib sokong Morsi - Dr Yusuf al-Qaradawi HOME

Friday, September 6, 2013

Pembongkaran Berani Bekas Biarawati

Han-Hoo-Lie1SAYA lahir dari keluarga Katolik yang taat, 45 tahun yang lalu di Surabaya, Jawa Timur. Nama asli saya Han Hoo Lie, tapi biasa dipanggil Ireni. Sejak kecil saya sudah mendalami agama. Ketika SD saya ikut privat agama di biara, dan itu berlangsung hingga saya SMP kelas dua. Mungkin, lantaran sering bergaul dengan para suster di biara itu, dalam diri saya timbul keinginan untuk menjadi seorang suster (biarawati).
Dalam pandangan saya, alangkah mulia dan sucinya seorang biarawati itu, karena dia telah mengabdikan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dengan kesederhanaan hati dan penuh kasih sayang mereka membimbing orang -orang ke arah iman Yesus Kristus. Sungguh, saya ingin sekali seperti mereka. Keluarga saya mendukung sepenuhnya cita-cita saya itu.
Maka, untuk mewujudkan cita-cita itu, sejak kecil saya sudah aktif dalam kegiatan gereja. Karena aktivitas saya itulah, sejak kelas satu SMA saya sudah terpilih sebagai Ketua Presidium Yunior Ligio Maria. Organisasi ini bergerak dalam bidang karya, kerasulan, dan doa. Begitu tamat SMA, saya langsung masuk ke sekolah susteran (biarawati) di Bandung.
Selama menempuh pendidikan di sekolah biarawati itu, selain mengikuti kuhah di biara seperti umumnya para calon suster maupun suster muda, saya bersama salah seorang teman diberi tugas khusus untuk kuliah di Institut Filsafat dan Teologia Bandung. Saya tidak tahu mengapa saya yang diberi tugas itu. Memang saya akui, bahwa di antara teman-teman di biara itu sayalah yang paling kritis. Kalau ada sesuatu yang nnenurut logika saya tidak nalar, selalu saya tanyakan. Itulah sifat saya sejak kecil.
Salah satu yang pernah saya tanyakan adalah konsep trinitas (Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Roh Kudus). Juga status Yesus sebagai Tuhan-kalau memang Yesus itu Tuhan-mengapa tatkala disalib is memanggil-manggil, “Eloy… Eloy…, lama sabakhtani?” (Allah… Allah…, mengapa Engkau tinggalkan aku? (Markus 15 ayat 33)).
Dari jawaban jawaban yang diberikan, semuanya tidak memuaskan hati saya. Jika saya ingin bertanya lagi, mereka selalu memotong, “Jangan dipertanyakan lagi, yang penting kamu imam dan yakini dalam hati. Itu sudah cukup.” Akhirnya saya diam, meskipun belum puas. Karena Institut Filsafat dan Teologia ada mata kuliah studi-perbandingan agama, maka saya pun mempelajari agama-agama yang ada, termasuk Islam. Sejak saat itulah saya mulai membanding-bandingkan, misalnya antara Islam dan agama saya.
Tidak terhitung jumlahnya buku-buku Islam yang saya baca. Cuma, semua buku itu karangan orang-orang di luar Islam. Entah mengapa, ada larangan buku-buku Islam yang ditulis orang Islam masuk ke perpustakaan kami. Untungnya, sejak berangkat dari Surabaya dulu saya sudah membawa Al-Qur’an dan terjemahannya dari rumah. Saya juga heran, kok dulu sempat membawa AI-Qur’an. Mungkin sudah takdir Allah.
Mempelajari Al Qur’an
Terjemahan Al-Qur’an itulah yang kemudian saga pelajari secara sembunyi-sembunyi di biara. Entah mengapa, saya begitu tertarik dengan Al-Qur’an itu. Mungkin karena besarnya keinginan saya untuk membandingkannya dengan Injil. Belum banyak yang saya pelajari, tiba-tiba saya menemukan surat al-Ikhlas.
“Katakanlah (hai Muhammad) Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak, dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia “
Secara tidak sadar, setelah membaca surat al-Ikhlas itu hati saya mengakui, inilah kosep ketuhanan yang sempurna: sederhana tapi gamblang.
Meskipun demikian, bukan berarti kemudian saya bergegas masuk Islam. Pengakuan akan kesempurnaan konsep ketuhanan Islam itu hanya mengendap dalam pikiran. Saya pun terus mempelajari Al-Qur’an hingga ketemu surat Al-Hujurat ayat 13.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Apa yang tertangkap dalam pikiran saya pada waktu itu? Ah, Al-Qur’an ini mengada-ada. Mana mungkin orang seluruh dunia disuruh saling berkenalan? Tetapi anehnya, pikirani saya justru terangsang dengan ayat tersebut. Saya ingin tahu apa maksud Al-Qur’an mengatakan seperti itu. Sava berdialog dengan diri sendiri untuk mencari jawabannya. Saya renung-renungkan, bukankah avat itu menunjukan bahwa Islam itu universal. berlaku untuk semua bangsa dan suku?
Ialu berbagai pertanyaan timbul dalam benak saya, siapakah pengarang Al-Qur’an itu, dan sudah berapa kali mengalami penyempurnaan? Pertanyaan itu timbul karena kitab-kitab suci yang lain sudah mengalami penyempumaan demi penyempurnaan dari masa ke masa. Lalu, mengapa kitab suci ini diberi nama Al-Qur’an?
Betapa terkejutnya saga setelah tahu dari membaca buku bahwa Al-Qur’an itu tidak pernah mengalami penyempurnaan. Demikian pula namanya bukan hasil pemberian seseorang sebagaimana Injil yang nama-namanya diambil dari penulisnya. Al-Qur’an temyata wahyu langsung dari Allah, dan Allah pula yang memberi nama kitab itu Al-Qur’an.
Saya mulai yakin akan kebenaran Islam. bagi saya Islam bukan agama buatan manusia yang bernama Muhammad sebagai mana ditanamkan kepada saya sejak kecil. Islam adalah agama ciptaan Allah.
Masuk Islam
Namun sampai sejauh itu, saya masih belum mau berikrar untuk menjadi seorang muslim. Masih ada perasaan gengsi dalam diri saya. Sebab, image yang tumbuh di lingkungan saya adalah bahwa umat Islam itu bodoh, miskin, kumuh, dan suka amuk. Anggapan seperti itu tergurat kuat dalam benak saya.
Namun, agaknya Tuhan punya ketentuan lain. Dalam suatu perjalanan ke Bandung saya mengalami musibah kecelakaan. Karena kecelakaan itu, mau tidak mau saya mengambil cuti dari biara, pulang ke Surabaya. Setelah sembuh saya sempat kuliah di Jakarta mengambil jurusan sosial kemasvarakatan. Mungkin karena banyak bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa Islam, penilaian saya terhadap Islam menjadi lebih objektif. Dan, sejak itulah saya sudah tidak berniat lagi untuk kembali ke biara. Saya merasa biara bukan tempat yang cocok buat saya. Maka, pada saat pulang ke Surabaya saya segera memutuskan tidak akan kembali ke biara.
Secara kebetulan, saat itu sava bermimpi yang sama beberapa kali. Dalam mimpi saya itu, seolah-olah teman-teman di biara berbaris ke suatu arah, sedangkan saya sendiri berbaris ke arah yang berlawanan. Mimpi seperti itu berlangsung sampai beberapa hari. Ditambah lagi, di dalam mimpi itu ada suara yang seakan-akan membisikan bahwa umur saya tinggal 40 hari lagi.
Pada malam berikutnya suara itu membisikan umur saya tinggal 39 hari. Setiap hari selalu berkurang satu hari. Begitu seterusnya. Saya bertanya-tanya, apakah ini suatu kebetulan atau firasat tertentu? Orang tua saya bingung ketika saya ceritakan mimpi saya itu. Berbagai jalan mereka tempuh untuk mengusir mimpi “aneh” itu. sampai-sampai orang tua saya menyelenggarakan slametan bubur sengkolo. Maksudnya untuk menolak bala.
Akan tetapi, walaupun sudah dislametin, toh malamnya tetap saja datang hal yang sama seperti kemarin. Demikian pula hari-hari berikutnya , sampai waktu 40 hari itu habis. Akhirnya saya berpikir praktis saja, “Apalah artinya sebuah mimpi. Toh, saya masih hidup meski ‘umur’ saya telah berakhir menurut numipi itu.”
Namun, satu hal yang tidak bisa saya ingkari adalah suara hati saya sendiri. Suara hati itu selalu membisikkan, “Kalau memang kamu mengakui kebenaran Islam, mengapa kamu tidak berahi dan tidak mampu memeluk agama Islam? Apakah selamanya kamu akan mendustai nuranimu sendiri? Apakah kamu akan terus berada di persimpangan jalan?” Itulah bisikan-bisikan suara hati saya.
Masjid Al-Falah, Surabaya
Lama-lama saya tak kuat lagi membohongi nurani saya sendiri. Akhirnya, sehari menjelang puasa Ramadhan, tepatnya 11 tahun yang lalu saya pun berikrar menjadi seorang muslim di Masjid al-Falah, Surabaya. Kini, sampai mati pun saya ingin tetap sebagai muslim, meski rintangan menghadang jalan hidup saya. (Bambang S / Albaz – dari Buku “Saya memilih Islam” Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/)
Sumber: http://mualaf.com
 

0 comments: