Tidak jelas, bila Abu Darda memeluk Islam . Dia salah seorang hartawan Madinah dan saudagar yang terkenal jujur dan ramai orang yang lebih suka berdagang dengannya berbanding dengan pedagang lain kerana dia tidak pernah menipu.
Tentang keislamannya, Abu Darda menyatakan. “Aku mengislamkan diriku kepada Rasulullah SAW ketika aku ingin agar ibadah dan perniagaan dapat terhimpun dalam diriku. Tapi tidak berhasil. Lalu aku mengurangkan waktu perniagaan, agar aku dapat lebih banyak beribadah kepada Allah SWT. Sesungguhnya aku tidak terlalu gembira meski pun setiap hari mendapat untung 300 dinar. Allah memang tidak mengharamkan perniagaan, tapi aku lebih suka bergabung dengan orang yang dalam berniaga tidak melalaikan Allah SWT.
Itulah Abu Darda, hartawan yang tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, tapi bersamaan dengan itu juga mengejar keuntungan yang lebih berharga di sisi Allah SWT.
Sejarahwan dari Mesir, Khalid Muhammad Khalid, sempat memujinya. Dalam bukunya, "Para sahabat yang akrab dengan kehidupan Rasul". Dia menulis tentang Abu Darda, “tidakkah anda perhatikan sinar memancar di sekeliling keningnya? Dan tidakkah anda mencium aroma yang semerbak dari arah dia? Itulah cahaya hikmah dan harumnya Iman. Sesungguhnya Iman dan Hikmah telah bertemu pada laki-laki yang rindu pada Allah ini. Suatu pertemuan yang bahagia tiada tolik bandingnya.
Abu Darda mampu memandukan kegiatan perniagaan yang bersifat duniawi dan ibadah kepada Allah SWT, menjalin hubungan yang akrab dengan sesama manusia dan hubungan yang mesra dengan Allah SWT. Mampu mengambil hikmah kehidupan di dunia namun tak lupa mengharapkan pahala di akhirat.
Setelah meninggalkan perniagaan, Dia menjalani hidup sebagai sufi. Berikut beberapa ajaran Abu Darda yang penuh hikmah. “Maukah anda mendengarkan jika aku smpaikan amalan yang terbaik? Amalan yang terbersih disisi Allah, yang mampu mempertinggi derjat anda, yang lebih baik daripada memerangi musuh di medan perang, yang lebih baik daripada wang emas dan perak?” kata Abu Darda, “Amalan apakah itu?” tanya para sahabat. Jawab Abu Darda. “Dzukrullah, karena dzikir kepada Allah itu lebih utama.
Anak Durhaka
Suatu hari Abu Darda mengirim surat kepada sahabatnya, “tak ada satupun harta di dunia ini yang kamu miliki melainkan sudah ada orang yang memilikinya sebelum kamu, dan akan ada terus orang lain yang memilikinya sesudah kamu. Sebenarnya harta yang kamu miliki sekadar yang kamu telah menmanfaatkan untuk dirimu. Maka utamakanlah harta itu untuk orang yang memerlukannya, yaitu anak-anakmu yang mewarisimu. Mungkin kepada anak saleh yang beramal untuk Allah – maka engkau akan bahagia, mungkin kepada anak durhaka yang mempergunakan harta itu untuk maksiat – maka engkau lebih celaka lagi dengan harta yang telah engkau kumpulkan. Maka pecayakanlah nasib mereka kepada rezeki Allat SWT, dan selamatkanlah dirimu sendiri.”
Menurut pandangan Abu Darda, dunia seluruhnya hanyalah titipan Allah SWT. Ketika banyak harta rampasan di bawa ke Madinah sebagai hasil kemenangan pasukan Islam di Cyprus, Abu Darda malah menangis, maka sahabat Zubair bin Nafis pun bertanya, “Wahai Abu Darda, mengapa engkau menangis ketika di menangkan oleh Allah SWT?’ jawab Abu Darda, “Wahai Zubair, alangkah hinanya makhluk di sisi Allah bila mereka meninggalkan kewajibannya terhadap Allah SWT, selagi ia perkasa, berjaya mempunyai kekuatan, lalu meninggalkan amanat Allah SWT, jadilah mereka seperti yang engkau lihat.”
Suatu hari, Abu Darda berkunjung ke Syiria, yang kala itu makmur, penduduknya hidup dalam gelumang kemewahan. Melihat kenyataan itu ia memberi peringatan. “Wahai warga Syiria, kalian adalah saudara seagama, tetangga dan pembela dalam melawan musuh bersama, tapi aku hairan melihat kalian, mengapa kalian tidak punya rasa malu?” kalian kumpulkan apa yang tidak kalian makan, kalian bangun semua yang tidak kalian huni, kalian harapkan apa yang tidak kalian dapat. Beberapa kurun waktu sebelum kalian, kaum Ad telah mengumpulkan dan menyimpannya, mereka memimpikan dan membina, lalu meneguhkan bangunan, tapi akhirnya semua binasa. Angan-angan mereka jadi fatamorgana, dan rumah mereka jadi kuburan belaka.”
Sebagai ahli hikmah, Abu Darda selalu terbuka untuk meneliti dan merenungkan kembali ibadahnya. Ia selalu mengingatkan orang akan perilaku palsu, kerana kepalsuan melemahkan Iman, merasa lebih dari orang lain dan sombong. Tentang hal ini ia berkata, “kebaikan sebesar Zarah (butiran kecil) dari orang yang bertaqwa lebih berat dan bernilai daripada ibadah setinggi gunung dari orang yang menipu diri sendiri.”
Ibadah menurut Abu Darda, bukan sekedar mencari kebaikan dan mengerahkan segala daya upaya untuk mendapatkan ridha Allah SWT, melainkan juga senantiasa rendah hati, mengingat kelemahan diri sendiri. Ia berkata, “carilah kebaikan sepanjang hidupmu, sebab Allah SWT mempunyai tiupan rahmat yang dapat mengenai siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Mohonlah kepada Allah SWT agar ia menutupi malu atau cela dan kejahatanmu, serta menghilangkan rasa tidak tenteram di hatimu.”
Itulah beberapa nasihat Abu Darda yang penuh dengan cahaya hikmah dan kebeningan hati. Banyak ulama yang menyatakan, Abu Darda adalah salah seorang pelendak Tasawuf. Karena lebih suka bersunyi diri, sampai di akhir hayatnya orang tidak tahu bila dia wafat dan dimana dikebumikan. Sebab hidupnya memang hanya untuk Allah SWT, “Berniaga” dengan Allah, dan hanya Allah SWT yang mengetahui segala hal mengenai dirinya.
0 comments:
Post a Comment