Wajib sokong Morsi - Dr Yusuf al-Qaradawi HOME

Monday, May 9, 2011

Peranan Ulama Terhadap Pemerintah (Umara)

http://sabdaislam.files.wordpress.com/2009/12/tauhid-139.jpg
Sebelum Said bin Jubair dijatuhi hukuman mati oleh penguasa zalim al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi pada masa pemerintahan Abdul Malik al-Abbasy, terjadi dialog antara Said seorang ulama besar pada masa itu dengan al-Hajjaj si penguasa zalim.

Al-Hajjaj : Siapa nama anda?
Said : Said bin Jabir.
Al-Hajjaj : Kamu adalah Syaqi bin Kasir
(Said artinya bahagia, sedang Syaqi artinya sengsara. Jabir berarti Penyabar, sedang Kasir: Perusak)
Said : Ibuku lebih mengetahui dari pada Anda tentang Namaku.
Al-Hajjaj : Kau dan ibumu sengsara.
Said : Tak seorangpun mengetahui yang ghaib selain Dia.
Al-Hajjaj : Kau harus merasakan neraka dunia.
Said : Kalaulah aku yakin hal itu ditangan kekuasaanmu aku akan jadikan engkau Tuhan.
Al-Hajjaj : Apa keyakinanmu tentang Muhammad?
Said : Beliau adalah Nabi pembawa rahmat dan Imam petunjuk.
Al-Hajjaj : Pendapatmu tentang Ali (bin Abi Thalib), apakah dia di Surga atau di neraka?
Said : Jika kau dapat masuk ke dalamnya engkau pasti akan tahu siapa penghuninya.
Al-Hajjaj : Kalau tentang para Khulafa, apa komentarmu wahai Said?
Said : Yang jelas, Anda bukan wakil (penguasa) bagi mereka.
Al-Hajjaj : Siapa diantara mereka yang engkau senangi?
Said : Yang diridhoi Sang Khaliq.
Al-Hajjaj : Siapa yang paling diridhoi-Nya?
Said : Yang mengetahui itu adalah Dia yang Maha Mengetahui rahasia dan bisikan mereka.
Al-Hajjaj : Mengapa kau tidak tertawa, wahai Said?
Said : Bagaimana makhluk yang diciptakan dari tanah dan dapat dibakar api dapat tertawa.
Al-Hajjaj : Hahaha, kami dapat tertawa sesuka hati?
Said : Karena hati yang ternodai.

Setelah dialog panjang tersebut al-Hajjaj memperlihatkan berbagai perhiasan emas, permata, berlian kepada Said, sebagai tawaran duniawi kepadanya seraya Said berkata: Jika Anda mengumpulkan ini semua karena takut kepada kegalauan Hari Kiamat, maka hal itu baik, karena tidak ada sedikit kebaikan pun pada harta dunia, kecuali harta yang baik dan bersih. Kemudian al-Hajjaj memerintahkan pesuruhnya untuk mengambil cambuk dan bara api untuk menyiksa Said. Saat itu Said menangis. Kenapa engkau menangis Said? Kata al-Hajjaj terhairan-hairan. Apakah engkau menganggapnya sebuah permainan belaka? Sambung al-Hajjaj.

Said : Aku merasa sedih. Tiupan bara itu mengingatkanku akan sangkakala yang ditiup di Hari Akhir kelak, sedangkan kayu cambuk itu adalah pohon yang dipotong tanpa nilai kebenaran sedikitpun. Al-Hajjaj pun marah seraya berkata: Neraka Wail (celaka) bagimu Said.

Said : Tidak akan celaka orang yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan kedalam Surga.

Al-Hajjaj : Wahai Said, engkau boleh memilih dengan cara apa aku membunuhmu?
Said :Terserah Anda, tentukanlah. Demi Allah tidak ada yang membunuhku dengan cara apapun kecuali Allah akan membunuhnya dengan cara itu di akhirat kelak.
Al-Hajjaj : Apa engkau ingin aku maafkan.

Said: Maaf… Adalah milik Allah semata. Sedang Anda tidak akan selamat dan memperoleh maaf (dari-Nya).
Lalu al-Hajjaj memerintahkan untuk membunuh Said.
Al-Hajjaj : Bunuh dia.

Saat Said keluar, beliau sempat tersenyum lebar. Ketika dilaporkan tentang sikapnya itu, al-Hajjaj memanggilnya kembali kerana tersinggung.
Al-Hajjaj : Mengapa engkau tertawa hai Said.
Said : Aku tertarik dengan keberanian Anda terhadap Allah dan kelembutan Allah terhadapmu.
Al-Hajjaj pun marah.
Katanya : Segera bunuh dia.
Lalu Said menghadap Kiblat
Said : Aku hadapkan wajahku kepada yang mencipta langit dan bumi secara lurus dan berserah diri dan aku bukan orang-orang yang musyrik.
Al-Hajjaj : Palingkan orang itu dari arah Kiblat. Said berkata “Kearah manapun kalian hadapkan wajah kalian, disanalah kalian mendapatkan wajah Allah”. Al-Hajjaj kurang puas dan semakin geram lalu berkata lagi: Tundukkan wajahnya ke bawah tanah.
Said : Darinya (tanah) Kami ciptakan kalian, kepadanya Kami kembalikan kalian dan dari padanya Kami bangkitkan kalian sekali lagi.
Al-Hajjaj : Cepat sembelih orang ini !!! Kata al-Hajjaj marah.

Said pun mengakhiri hayatnya dengan seuntai kata indah:
Sedangkan aku, maka aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu baginya, Muhammad adalah hamba Rasul Allah, ambilah persaksianku ini sampai engkau berjumpa dengan ku di Hari Kiamat. Allahumma Ya Allah, jangan Engkau jadikan dia berkuasa kepada seseorang yang membunuhnya sesudahku.

Demikian sekelumit kisah dialog antara seorang ulama besar Said bin Jabir dengan seorang penguasa yang zalim al-Hajjaj, sebagai tauladan bagi para Warasatul Anbiya dalam memainkan peranan Amar Makruf Nahi Munkar ditengah masyarakat.

Keberanian dalam membela kebenaran, ketegasan jawaban dalam berdialog dengan perhatian kepada adab sopan santun berbicara, ketajaman pemikiran dan kedalaman pengetahuan, semua itu menjadi sifat dan kriteria para ulama salaf, semacam Said bin Jabir, Said bin al-Musayyab dan lain-lain. Mereka adalah ikutan masyarakat, penasihat penguasa dan pengharum nama bangsa serta penyelamat umat dari bentuk-bentuk penyimpangan dari jalan Allah SWT.
Sebaliknya para pemerintah atau penguasa pun harus mendengar para ulama dengan sikap dewasa sekalipun nasihat yang disampaikan pahit. Ketika Umar bin Abdul Aziz dinobatkan menjadi khalifah, maka banyak orang berdatangan dari berbagai negeri di Jazirah Arab dan sekitarnya, di antaranya adalah rombongan dari Hijaz, lalu majulah anak kecil sebagai juru bicara dari mereka. Khalifahpun meminta: Hendaknya orang yang lebih besar untuk berbicara. Anak itupun berkata: "Semoga Allah memperbaiki engkau wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya seseorang itu justeru dilihat dari hal yang kecil yakni hati dan lisannya, jika Allah mengurniainya lisan yang tajam dan hati yang terpelihara, maka orang itu mempunyai hak untuk berbicara." Khalifah pun membenarkan anak itu. Kemudian anak tersebut memulai bicara dengan memberikan nasihat kepada sang Khalifah. Khalifah bertanya: Berapa umur anak itu? Ia baru berusia 11 tahun, dialah putra dari Husein bin Ali ra. Fa'tabiruu yaa Ulil Albab La'allakum Turhamun.

0 comments: